Sukarno, satu-satunya Presiden RI yang tidak punya rumah

Sukarno, Bung Karno, Pak Karno

Semua Presiden Republik Indonesia punya rumah pribadi. Bukan sekedar rumah, kediaman pribadi itu juga sering jadi pusat pertemuan politik dan agenda 'tersembunyi' lainnya.

Rumah di Jl Cendana, Jakarta Pusat menjadi hal yang tidak bisa dilepaskan dari sosok Soeharto. Presiden Habibie tinggal di Patra Kuningan, Jakarta Selatan. Gus Dur memiliki pesantren sekaligus rumah di Ciganjur, Jakarta Selatan. Sementara Megawati di Jl Teuku Umar, Jakarta Pusat. Terakhir, Susilo Bambang Yudhoyono di kawasan Cikeas, Bogor.

Bagaimana dengan Sukarno?

"Aku satu-satunya Presiden di dunia ini yang tidak punya rumah sendiri. Baru-baru ini rakyatku menggalang dana untuk membuatkan sebuah gedung buatku. Tapi di hari berikutnya aku melarangnya. Ini bertentangan dengan pendirianku. Aku tidak mau mengambil sesuatu dari rakyatku. Aku justru ingin memberi mereka," ujar Sukarno seperti ditulis Cindy Adams dalam buku 'Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia'.

Sukarno menjelaskan tempat tinggalnya sudah dipenuhi oleh negara. Begitu juga dengan seragam dan mobil dinasnya. Tapi dia mengaku tidak punya harta atau tabungan. Tahun 1960an, Sukarno menerima gaji kira-kira hanya sebesar USD 220 (jika dikurskan). Jumlah itu tidak cukup untuk membiayai seluruh keluarga besarnya.

"Dan adakah kepala negara yang melarat seperti aku sehingga sering meminjam uang pada ajudannya," ujar Sukarno lagi.

Perabotan di Istana Negara pun tak selalu baru dan mewah. Sebagian masih ada yang peninggalan Belanda. Saat seorang tamu negara dari Filipina berkunjung dan melihat kamar mandi Istana, dia kemudian mengirimkan kloset baru untuk Sukarno. Sukarno menerimanya dengan senang hati.

"Ini betul-betul hadiah yang menyenangkan," ujar Sukarno.

Namun sosok Sukarno selalu diisukan memiliki harta karun Triliunan Rupiah. Kisah perburuan harta karun Sukarno tidak pernah habis. Mereka percaya di suatu tempat, Sukarno menyimpan harta revolusi berupa batangan emas dan sertifikat berharga di Bank Eropa. Jika menyimak pengakuan Sukarno, benarkah Sukarno memiliki harta itu?

"Semua tentang dana revolusi ini tidak jelas. Tidak tahu berapa besarnya, apakah ini benar atau tidak. Semua ini cuma isu," ujar sejarawan Asvi Warman Adam kepada merdeka.com beberapa waktu lalu.

Asvi ragu Sukarno benar-benar meninggalkan harta berpeti-peti emas. Dia menceritakan tahun 1960-an, ada program pembangunan patung Antariksa yang sekarang dikenal sebagai patung Pancoran. Saat itu Edhi Sunarso yang memimpin proyek mengeluhkan kekurangan dana pada Sukarno. Saat itu pula Sukarno menjual mobil miliknya untuk biaya pengerjaan patung tersebut.

"Dengan contoh ini kita bisa mengambil kesimpulan. Kalau Sukarno punya uang, buat apa dia menjual mobilnya segala. Cukup ambil saja dari emas itu," terang Asvi.


Sumber : Merdeka (Dengan perubahan seperlunya)


Richard K Sherwin: Soeharto Mengkudeta Soekarno

Richard K Sherwin
Foto: New York Law School

TOKYO - Seorang profesor hukum, proyek persuasi visual New York Law School, Richard K Sherwin, melihat kemungkinan Soeharto melakukan kudeta terhadap mantan Presiden Sukarno. Tulisannya dimuat majalah mingguan Shukan Toyo Keizai edisi 11 Oktober 2014 yang beredar Jumat (10/10/2014). Tulisan ini sebenarnya berasal dari tulisan Sherwin dengan judul Menjejaki Legitimasi keaslian The Act of Killing.

"Saya ingin Anda untuk mempertimbangkan rezim Soeharto di Indonesia. Aplikasi ini mengklaim antara 1966-1998, bahwa ada kekejaman oleh pemberontak komunis, untuk menyampaikan, rezim itu harus dilihat dalam bioskop dan televisi. Gambar kerusakan di dalamnya telah dibuktikan yaitu dimaksudkan untuk menanamkan rasa takut kepada orang yang melihatnya. Strategi visual rezim Soeharto pada terorisme dan kekejaman, ia telah menciptakan realitas baru," tulis Sherwin.

Juga untuk video dari negara-negara Islam yang telah menyebar dengan cepat di internet, teori terdistorsi, hal yang sama terjadi. Sekarang, kebutuhan untuk menghadapi kejahatan telah meningkat lebih dari sebelumnya. Tapi, motivasi masyarakat Barat yang penuh dengan kemungkinan, menjadi kehilangan kejelasan.

Bahwa politik dan kebrutalan, untuk membalas kekerasan terhadap orang yang membuat gambar, dapat membangkitkan kecemasan.

"Itu sebabnya, kita harus mempertanyakan diri sendiri, apakah akar dari reaksi kita terhadap ancaman di mana negara-negara Islam menunjukkan sesuatu yang khusus. Untuk membedakan antara video yang dimaksudkan dan informasi tentang kekhawatiran mengenai keamanan nasional, kemarahan kita, maka perlu merangsang, mempertanyakan diri sendiri, agar tidak mudah terperangkap dengan cara apapun. Hal ini sangat signifikan."

"Strategi visual teror dan kebrutalan mungkin menjadi bagian kuat. Tetapi hal itu segera terbentuk, jika kita menangkapnya sebagai bagian yang terakhir," tambahnya.

Itu sebabnya, hanya kekuatan militer, tidak lah cukup untuk menguras kejahatan. Penggunaan strategis video kekerasan di era digital, haruslah dipikirkan lebih dalam lagi.

Sementara tulisan Sherwin menanggapi film The Act Killing di halaman 47 menuliskan bahwa ancaman komunitas memang benar ada, masih belum jelas. Bisa saja sebagai bagian dari rencana menjatuhkan mantan Presiden Sukarno.

"Masih belum jelas apakah ancaman komunis itu memang nyata dan benar, atau hal itu dipakai sebagai awal Soeharto untuk melakukan kudeta menjatuhkan mantan Presiden Sukarno. Dalam banyak hal, Orde Baru Soeharto yang didukung oleh militer dan orang kepercayaannya, menjadikan mereka seperti mesin teror dan kematian. Bukan hanya menjadikan Soeharto tetap berkuasa, tetapi berkuasa sangat lama 32 tahun dari tahun 1966 sampai dengan 1998," tulis Sherwin.


Sumber : Tribunnews (Dengan perubahan seperlunya


Apa perintah pertama Sukarno sebagai Presiden RI?

Sukarno, Bung Karno, Pak Karno

Sosok Sukarno punya seribu cerita unik yang mengundang senyum. Kira-kira apa perintah pertama Presiden Sukarno saat menjadi Presiden?

Sehari setelah kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) bersidang. Mereka menetapkan Sukarno sebagai Presiden RI pertama dan Mohammad Hatta sebagai wakil presiden RI.

Tidak ada debat sengit dalam sidang di Gedung Road van Indie di Jalan Pejambon itu. Sederhana saja, PPKI memilih Sukarno sebagai presiden. Berbeda sekali dengan sidang paripurna di DPR yang penuh keriuhan, protes serta gontok-gontokan.

Kisah ini diceritakan Sukarno dalam biografinya yang ditulis Cindy Adams "Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia" yang diterbitkan Yayasan Bung Karno tahun 2007.

"Nah kita sudah bernegara sejak kemarin. Dan sebuah negara memerlukan seorang Presiden. Bagaimana kalau kita memilih Sukarno?"

Sukarno pun menjawab, "Baiklah."

Sesederhana itu. Maka jadilah Sukarno sebagai Presiden pertama RI. Namanya negara yang baru seumur sehari, tidak ada mobil kepresidenan yang mengantar Sukarno. Maka Sukarno pun pulang berjalan kaki.

"Di jalanan aku bertemu dengan tukang sate yang berdagang di kaki lima. Paduka Yang Mulia Presiden Republik Indonesia memanggil pedagang yang bertelanjang kaki itu dan mengeluarkan perintah pelaksanaannya yang pertama. Sate Ayam 50 tusuk!" ujar Sukarno.

Itulah perintah pertama Presiden RI. "Sate Ayam 50 tusuk!"

Sukarno kemudian jongkok di pinggir got dekat tempat sampah. Sambil berjongkok, Paduka Yang Mulia Presiden Republik Indonesia itu menghabiskan sate ayam 50 tusuk dengan lahap. Itulah pesta perayaan pelantikannya sebagai Presiden Pertama RI.

Saat Sukarno pulang ke rumah, dia menyampaikan bahwa dirinya telah dipilih menjadi Presiden pada Fatmawati, istrinya. Fatmawati tidak melompat-lompat kegirangan. Fatmawati menceritakan wasiat ayahnya sebelum meninggal.

"Di malam sebelum bapak meninggal, hanya tinggal kami berdua yang belum tidur. Aku memijitnya untuk mengurangi rasa sakitnya, ketika tiba-tiba beliau berkata 'Aku melihat pertanda secara kebatinan bahwa tidak lama lagi...dalam waktu dekat...anakku akan tinggal di istana yang besar dan putih itu'. Jadi ini tidak mengagetkanku. Tiga bulan yang lalu, Bapak sudah meramalkannya," ujar Fatmawati tenang.

Sukarno memang ditakdirkan jadi orang besar dengan segala ceritanya.


Sumber : Merdeka (Dengan perubahan seperlunya) 


Negarawan Berani dan Jujur Nyaris Hilang

Sukarno, Bung Karno, Pak Karno

Negarawan yang berani dan jujur semakin langka, bahkan cenderung hilang di Indonesia. Tindakan seperti generasi Soekarno-Hatta hingga Maulwi Saelan yang berani meninggalkan kenyamanan hidup untuk memperjuangkan dan mencapai tujuan bernegara semakin sulit ditemukan.

Demikian disampaikan sejarawan Universitas Indonesia, Anhar Gonggong dalam peluncuran buku Maulwi Saelan: Penjaga Terakhir Soekarno di Museum Nasional, Jakarta, Rabu (1/10/014).

"Maulwi Saelan bagian dari generasi yang bertindak melampaui dirinya, kelompok, dan golongan. Tindakan yang dilakukan generasi Soekarno-Hatta hingga Maulwi Saelan ini adalah teladan yang kini nyaris hilang. Kini, yang muncul adalah orang-orang yang berbuat demi kepentingan dirinya, bahkan menggarong atau korupsi," kata Anhar Gonggong.

Anhar Gonggong menerangkan, Sukarno, Hatta, dan para tokoh generasi 1945 mau meninggalkan zona nyaman menjadi birokrat atau elite masyarakat Hindia-Belanda demi mencapai sebuah negara baru, yakni Republik Indonesia. Jika hanya memikirkan diri sendiri, kehidupan mereka sudah nyaman dan mapan. 

Pembicara lain, Bonnie Triyana, Pemimpin Redaksi Majalah Historia yang juga penulis buku terbitan Penerbit Buku Kompas (PBK) tersebut mengatakan, teladan Sukarno sebagai pemimpin yang tidak terikat protokoler merupakan sisi-sisi manusiawi seorang pemimpin kerakyatan yang dilahirkan Revolusi 1945. 

"Sukarno berani minta maaf kepada bawahannya jika berbuat salah. Sukarno juga tidak bermewah-mewah,” tutur Bonnie. 

Benda-benda seni yang dikumpulkan Sukarno juga tidak dikuasai demi kekayaan pribadi. Semua diberikan ke perbendaharaan Istana Negara. 

Dari testimoni Maulwi Saelan, tutur Bonnie, diungkapkan sanggahan tegas Maulwi Saelan yang sepanjang hari hingga malam tanggal 30 September 1965 mendampingi Bung Karno. "Tidak benar Bung Karno mengetahui dan membenarkan tindakan G30S," ujar Bonnie.

Para hadirin peluncuran buku itu juga mengkritisi perlakuan terhadap negarawan. Haryono Ahmad, mantan Tentara Pelajar di Solo, menceritakan, dia bersama para pejabat masa awal Orde Baru miris menyaksikan penanganan jenazah Bung Karno yang dinilainya tidak pantas. ”Ada senior saya di Kementerian Transmigrasi, Brigjen Busiri, tidak jadi memotret iring-iringan jenazah Bung Karno. Pak Busiri menangis melihat kereta jenazah Bung Karno yang kondisinya sangat jelek. Bukan itu cara memperlakukan mantan Presiden Indonesia,” katanya.

Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Asvi Warman Adam yang turut menulis buku Maulwi Saelan mengatakan, tidak benar tudingan bahwa Tjakrabirawa, pasukan pengawal Presiden Sukarno, merencanakan penculikan jenderal-jenderal TNI AD tahun 1965. ”Tjakrabirawa justru pro-aktif meminta keterangan Sukitman, anggota polisi yang dilepaskan dari Lubang Buaya, sehingga tempat pembuangan jenazah Pahlawan Revolusi ditemukan,” ujar Asvi.

Maulwi Saelan menambahkan cerita tentang penembakan Arif Rahman Hakim. Penembak mahasiswa Universitas Indonesia hingga meninggal sewaktu berlangsungnya demonstrasi mahasiswa pada 24 Februari 1966 itu, menurut dia, diduga dilakukan anggota Polisi Militer TNI AD, tetapi dituduhkan kepada Tjakrabirawa.


Sumber : Kompas (Dengan perubahan seperlunya) 


Bung Karno Pernah Taburkan Bunga dari Atas Heli ke Makam Ini

Makam Mangunkusumo

Presiden pertama Indonesia, Ir Sukarno, tergolong tokoh yang rajin berziarah ke makam-makam Pahlawan di sejumlah daerah, termasuk ke makam Pahlawan Dokter Tjipto Mangunkusumo di Ambarawa, Jawa Tengah. 

Bahkan, Sang Proklamator ini mempunyai cara unik saat berziarah ke makam Pahlawan perintis kemerdekaan ini. Menurut salah satu juru kunci makam Mangoenkoesoemo, Rosalia Suwarsinah (70), pernah dalam suatu kesempatan, Bung Karno melakukan tabur bunga dari atas Helikopter. Hal itu dilakukan oleh Bung Karno sebagai bentuk penghormatan dan penghargaan untuk Dokter Tjipto atas jasa-jasanya kepada Bangsa dan Negara ini.

"Jika Bung Karno kebetulan melintas di langit Ambarawa, beliau selalu menaburkan bunga dari udara tepat di atas makam," kata Suwarsinah kepada Kompas.com, Senin (11/8/2014) siang.

Suwarsinah menuturkan, berdasarkan cerita Kaslan, ayahnya yang menjadi juru kunci pertama makam Dokter Tjipto, pada tahun 1955 Bung Karno juga pernah berziarah langsung dan bertemu dengan Kaslan. Bung Karno juga memberikan material bangunan untuk merenovasi pemakaman Dokter Tjipto. 

"Pak Karno kerap ke sini, pernah dia bilang sama ayah saya kalau Dokter Tjipto orang hebat. Kalau dia tidak meninggal, bakal jadi Presiden,” kata Suwarsinah atau biasa disapa Bu Sin. 

Dokter Tjipto Mangunkusumo

Menurut Suwarsinah, awalnya, makam Pahlawan Nasional itu tidak banyak yang tahu. Bahkan, jarang sekali pejabat berziarah ke makam tersebut pada momen-momen Hari Kemerdekaan ataupun Kebangkitan Nasional. Namun, setelah direnovasi oleh keluarga dan pemerintah provinsi, baru tempat itu mulai dikenal dan sering dikunjungi.

“Pejabat sekarang ini sepertinya pada lupa dengan Dokter Tjipto, gubernur saja tidak pernah ke sini. Seingat saya gubernur Jateng yang ke sini cuma Pak Ismail. Bupati ya Pak Munjirin, lalu Pak Wakil Presiden (Boediono) pernah ziarah ke sini sebelum pilpres lima tahun lalu. Kalau pengusaha ya Pak Aburizal Bakrie dan anaknya yang istrinya artis itu," pungkasnya.

Lukisan Dokter Tjipto Mangunkusumo



Sumber : Kompas (Dengan perubahan seperlunya)


Ketika Bung Karno tak Lagi Didengar

Sukarno, Bung Karno, Pak Karno

Ada masa yang bisa kita sebut sebagai antiklimaks pada diri seorang Sukarno. Masa itu adalah bentang tahun antara 1965 – 1967, atau persisnya sejak Gestok, 1 Oktober 1965 hingga dilengserkannya dia tahun 1967. Pada saat itu, suara Sukarno benar-benar seperti angin lalu, di tengah gencarnya kekuatan yang digalang Soeharto dengan Angkatan Darat serta mahasiswa, yang semuanya didukung Amerika Serikat.

Tragedi G-30-S/PKI itu sendiri, dalam dokumen yang terekspos serta bukti-bukti yang tersaji, sungguh sebuah rekayasa jahat. Sebagian pengamat menyebutnya “kudeta merangkak”, mulai dari aksi pembunuhan jenderal hingga pendiskreditan atas diri Sukarno, hingga berujung pada tindakan pembunuhan karakter dan pembunuhan dalam pengertian yang mendekati arti sesungguhnya.

Dokumen Arsip Nasional mencatat sedikitnya Bung Karno berpidato sebanyak 103 kali dalam bentang September 1965 hingga 1967. Di tengah serangan aksi demo mahasiswa yang bertubi-tubi, serta pembunuhan karakter di media massa, Bung Karno terus dan terus berpidato dalam setiap kesempatan. Dalam setiap pidatonya, Bung Karno menjawab semua tudingan dengan sangat gamblang dan masuk akal. Akan tetapi, tidak satu pun yang mendengar.

Jenderal-jenderal yang semula patuh dan tunduk, mulai membangkang. Setiap isi pidato Bung Karno, tidak pernah lolos dari gunting sensor Angkatan Darat, sehingga tidak satu pun substansi pidato Bung Karno tadi terekspos di media massa. Sedangkan pemberitaan yang muncul selalu berisi pemutarbalikan fakta, dan opini-opini kaum oposan yang menyudutkan Bung Karno.

Sejatinya, barisan pendukung Sukarno sudah begitu kuat. Bahkan semua angkatan bersenjata dan Polisi (kecuali Angkatan Darat) berdiri di belakang Sukarno, dan siap perintah untuk menumpas aksi demo sokongan Amerika, dan aksi membangkang Angkatan Darat. Di atas kertas, kalau saja Bung Karno mau, maka dengan mudah aksi perlawanan Angkatan Darat yang dipimpin Soeharto bisa ditumpas.

Dalam banyak dokumen sejarah terungkap, Bung Karno tidak menghendaki perang saudara. Ia melarang para pendukungnya untuk melakukan aksi basmi terhadap saudara sebangsa yang membangkang. Bahkan kemudian Bung Karno memilih “mengalah” demi rakyat Indonesia, demi keutuhan bangsa. Ia bersedia menjadi tumbal. Kepada orang dekatnya, Maulwi Saelan ia pernah bertutur, biar nanti sejarah yang membuktikan, siapa yang salah dan siapa yang benar…. Sukarno atau Soeharto.

Bung Karno bahkan mulai menguak temuannya tentang adanya transfer dana dari pihak asing sebesar Rp 150 juta pada tahun 1965 dengan tujuan untuk mengembangkan the free world ideology. Dalam pada itu, Bung Karno juga mengemukakan bahwa ia memiliki surat Kartosoewirjo yang menyuruh para pengikutnya terus berjuang mendirikan Negara Islam Indonesia (NII) karena “Amerika di belakang kita”. Dalam kesempatan lain lagi, Bung Karno mengutuk nekolim dan CIA. Ia bahkan berseru di hadapan para diplomat asing di Jakarta, “Ambasador jangan subvesi!”.

Atas tragedi G-30-S/PKI itu sendiri, Bung Karno terus disudutkan sebagai pihak yang patut diduga terlibat. Meski di kemudian hari kita baru menyadari… bagaimana mungkin seorang presiden mengkudeta dirinya sendiri? Itu jika kita menggunakan analogi bahwa gerakan itu dimaksudkan untuk mengganti kepemimpinan Nasional.

Dalam salah satu pidato yang ia ucapkan di Bogor, Bung Karno menyebutkan bahwa berdasar visum dokter, tidak ada kemaluan jenderal korban G-30-S itu yang dipotong dalam pembantaian di Lubang Buaya. Demikian pula, tidak ada mata yang dicungkil seperti ditulis pers dengan sangat dramatis. Dalam pidato berikutnya tangal 13 Desember 1965 di hadapan para gubernur se-Indonesia, Bung Karno bahkan menuturkan, pisau yang disebut-sebut digunakan mencongkel mata para jenderal tak lain adalah sebilah pisau penyadap lateks, getah pohon karet. Tapi oleh kelompok Soeharto disebut sebagai barang bukti yang digunakan mencungkil mata para jenderal. Tidak ada bekas darah kecuali getah karet di pisau itu.

Semua pidato Bung Karno yang bermaksud meng-counter tudingan, sangkaan, dugaan serta segala bentuk pencemaran nama baik, tak mempan. Kekuatan Angkatan Darat didukung Amerika Serikat begitu merajalela. Di sisi lain, Bung Karno yang sudah mendapatkan ikrar setia dari segenap elemen masyarakat, bergeming tidak mau bertindak menumpas. Ia tidak ingin terjadi perang saudara di bumi yang dengan susah payah ia lepaskan dari jerat penjajahan.


Sumber : Roso Daras (Dengan perubahan seperlunya)


Bung Karno dan Ibundanya

Bung Karno dan Ida Ayu Nyoman Rai

Sebuah hadits meriwayatkan seorang sahabat yang bertanya, ihwal kepada siapa kita harus berbakti. Nabi SAW menjawab, “Ibumu…”. Sahabat bertanya lagi, “Setelah itu, berbakti kepada siapa lagi ya Nabi?”, dan Nabi SAW kembali menjawab, “Ibumu…”, begitu sampai tiga kali, baru yang keempat Nabi menjawab, “Bapakmu…”.

Bung Karno Sang Proklamator, paham betul itu. Ibunda, Ida Ayu Nyoman Rai menempati tahta tertinggi di hatinya. Dalam banyak kesempatan, baik sehabis kembali dari pembuangan, atau dari tugas apa pun, orang pertama yang ia jumpai adalah ibunda. Ia bersimpuh dan “sungkem”, menghaturkan bakti kepada sang ibu, serta memohon doa restu. Itu “ritual” yang tidak pernah ditinggalkan Bung Karno, selama ibundanya masih hidup.

Tidak hanya itu. Dengan ibunda, Bung Karno bisa “curhat” apa saja, mulai dari soal pergerakan, tanah air, sampai ke soal-soal percintaan (baca: perempuan). Tidak ada satu orang pun di atas bumi, yang mengetahui rahasia Bung Karno selengkap Idayu. Terkadang, hanya dengan tatapan lembut ibu, cukup bagi jiwa Sukarno yang bergolak-golak. Ada kalanya, usapan lembut telapak tangan ibu, mampu meluluhkan jiwa gundah Sukarno.

Sumber : Roso Daras (Dengan perubahan seperlunya)


Kisah Sukarno soal peci miring dan pohon beringin

Bung Karno

Anda sudah tentu pernah melihat foto Presiden Sukarno dengan peci miring. Apa alasan Sukarno memakai peci miring ? Jawaban itu dapat ditemukan di 'Ndalem Pojok' di Desa Pojok, Kecamatan Wates, Kabupaten Kediri. Alasan memakai topi miring itu ternyata untuk menutupi luka akibat jatuh dari pohon beringin.

"Rahasia mengapa Sukarno selalu memakai peci miring karena untuk menutupi luka di jidatnya akibat terjatuh ketika bermain di pohon beringin yang ada di depan rumahnya," kata RM Soeharyono keponakan RM Soemosewoyo yang juga bapak angkat Sukarno.

Namun sayang, pohon beringin yang menjadi saksi jatuhnya Sukarno itu telah ambruk sekitar tahun 1970-an karena diterjang angin. "Keluarga kita sempat mendapat intimidasi dari militer atas ambruknya pohon beringin ini, kita dikira tidak pro Orde Baru," tandas Soeharyono.

Sukarno yang mempunyai banyak teman, sering mengajak teman-temannya main ke 'Ndalem Pojok' Wates, antara lain dr Soetomo, R Sosrokartono (kakak kandung RA Kartini) dan HOS Tjokroaminoto dan juga Muso, tokoh PKI asal Jagung, Kecamatan Pagu, Kabupaten Kediri.

"HOS Tjokroaminoto melatih Sukarno berorasi ya di sini di bawah pohon beringin yang mengakibatkan luka pada jidatnya. Jadi gaya orasi Sukarno itu atas didikan Pak Tjokro yang juga mertuanya ketika kos di Peneleh Gang II/27 Surabaya," tambah Soeharyono.

Lokasi pohon beringin tempat di mana Sukarno berlatih orasi sekarang menjadi tiang bendera, di mana di setiap kegiatan hari besar nasional selalu diadakan upacara di 'Ndalem Pojok'.

Selain cerita tentang pohon beringin, juga ada pohon yang menjadi saksi perjalanan cinta ayah Sukarno, R.Soekemi, yakni pohon kantil raksasa. Pohon yang ditanam sekitar tahun 1850 oleh RMP. Soemohadmodjo itu pernah dimanfaatkan sang ayah untuk memantapkan hatinya meminang sang pujaan hati Ida Nyoman Rai Srimben dari Bali.

"Tanaman mbah buyut saya masih ada sampai sekarang, dan kalau dipikir-pikir ini adalah tanaman pohon kantil terbesar yang pernah ada," pungkas R. Koeshartono cucu keponakan RM Soemosewoyo yang juga ayah angkat Sukarno.

Sumber : Merdeka (Dengan perubahan seperlunya)