Bung Karno Pernah Taburkan Bunga dari Atas Heli ke Makam Ini

Makam Mangunkusumo

Presiden pertama Indonesia, Ir Sukarno, tergolong tokoh yang rajin berziarah ke makam-makam Pahlawan di sejumlah daerah, termasuk ke makam Pahlawan Dokter Tjipto Mangunkusumo di Ambarawa, Jawa Tengah. 

Bahkan, Sang Proklamator ini mempunyai cara unik saat berziarah ke makam Pahlawan perintis kemerdekaan ini. Menurut salah satu juru kunci makam Mangoenkoesoemo, Rosalia Suwarsinah (70), pernah dalam suatu kesempatan, Bung Karno melakukan tabur bunga dari atas Helikopter. Hal itu dilakukan oleh Bung Karno sebagai bentuk penghormatan dan penghargaan untuk Dokter Tjipto atas jasa-jasanya kepada Bangsa dan Negara ini.

"Jika Bung Karno kebetulan melintas di langit Ambarawa, beliau selalu menaburkan bunga dari udara tepat di atas makam," kata Suwarsinah kepada Kompas.com, Senin (11/8/2014) siang.

Suwarsinah menuturkan, berdasarkan cerita Kaslan, ayahnya yang menjadi juru kunci pertama makam Dokter Tjipto, pada tahun 1955 Bung Karno juga pernah berziarah langsung dan bertemu dengan Kaslan. Bung Karno juga memberikan material bangunan untuk merenovasi pemakaman Dokter Tjipto. 

"Pak Karno kerap ke sini, pernah dia bilang sama ayah saya kalau Dokter Tjipto orang hebat. Kalau dia tidak meninggal, bakal jadi Presiden,” kata Suwarsinah atau biasa disapa Bu Sin. 

Dokter Tjipto Mangunkusumo

Menurut Suwarsinah, awalnya, makam Pahlawan Nasional itu tidak banyak yang tahu. Bahkan, jarang sekali pejabat berziarah ke makam tersebut pada momen-momen Hari Kemerdekaan ataupun Kebangkitan Nasional. Namun, setelah direnovasi oleh keluarga dan pemerintah provinsi, baru tempat itu mulai dikenal dan sering dikunjungi.

“Pejabat sekarang ini sepertinya pada lupa dengan Dokter Tjipto, gubernur saja tidak pernah ke sini. Seingat saya gubernur Jateng yang ke sini cuma Pak Ismail. Bupati ya Pak Munjirin, lalu Pak Wakil Presiden (Boediono) pernah ziarah ke sini sebelum pilpres lima tahun lalu. Kalau pengusaha ya Pak Aburizal Bakrie dan anaknya yang istrinya artis itu," pungkasnya.

Lukisan Dokter Tjipto Mangunkusumo



Sumber : Kompas (Dengan perubahan seperlunya)


Ketika Bung Karno tak Lagi Didengar

Sukarno, Bung Karno, Pak Karno

Ada masa yang bisa kita sebut sebagai antiklimaks pada diri seorang Sukarno. Masa itu adalah bentang tahun antara 1965 – 1967, atau persisnya sejak Gestok, 1 Oktober 1965 hingga dilengserkannya dia tahun 1967. Pada saat itu, suara Sukarno benar-benar seperti angin lalu, di tengah gencarnya kekuatan yang digalang Soeharto dengan Angkatan Darat serta mahasiswa, yang semuanya didukung Amerika Serikat.

Tragedi G-30-S/PKI itu sendiri, dalam dokumen yang terekspos serta bukti-bukti yang tersaji, sungguh sebuah rekayasa jahat. Sebagian pengamat menyebutnya “kudeta merangkak”, mulai dari aksi pembunuhan jenderal hingga pendiskreditan atas diri Sukarno, hingga berujung pada tindakan pembunuhan karakter dan pembunuhan dalam pengertian yang mendekati arti sesungguhnya.

Dokumen Arsip Nasional mencatat sedikitnya Bung Karno berpidato sebanyak 103 kali dalam bentang September 1965 hingga 1967. Di tengah serangan aksi demo mahasiswa yang bertubi-tubi, serta pembunuhan karakter di media massa, Bung Karno terus dan terus berpidato dalam setiap kesempatan. Dalam setiap pidatonya, Bung Karno menjawab semua tudingan dengan sangat gamblang dan masuk akal. Akan tetapi, tidak satu pun yang mendengar.

Jenderal-jenderal yang semula patuh dan tunduk, mulai membangkang. Setiap isi pidato Bung Karno, tidak pernah lolos dari gunting sensor Angkatan Darat, sehingga tidak satu pun substansi pidato Bung Karno tadi terekspos di media massa. Sedangkan pemberitaan yang muncul selalu berisi pemutarbalikan fakta, dan opini-opini kaum oposan yang menyudutkan Bung Karno.

Sejatinya, barisan pendukung Sukarno sudah begitu kuat. Bahkan semua angkatan bersenjata dan Polisi (kecuali Angkatan Darat) berdiri di belakang Sukarno, dan siap perintah untuk menumpas aksi demo sokongan Amerika, dan aksi membangkang Angkatan Darat. Di atas kertas, kalau saja Bung Karno mau, maka dengan mudah aksi perlawanan Angkatan Darat yang dipimpin Soeharto bisa ditumpas.

Dalam banyak dokumen sejarah terungkap, Bung Karno tidak menghendaki perang saudara. Ia melarang para pendukungnya untuk melakukan aksi basmi terhadap saudara sebangsa yang membangkang. Bahkan kemudian Bung Karno memilih “mengalah” demi rakyat Indonesia, demi keutuhan bangsa. Ia bersedia menjadi tumbal. Kepada orang dekatnya, Maulwi Saelan ia pernah bertutur, biar nanti sejarah yang membuktikan, siapa yang salah dan siapa yang benar…. Sukarno atau Soeharto.

Bung Karno bahkan mulai menguak temuannya tentang adanya transfer dana dari pihak asing sebesar Rp 150 juta pada tahun 1965 dengan tujuan untuk mengembangkan the free world ideology. Dalam pada itu, Bung Karno juga mengemukakan bahwa ia memiliki surat Kartosoewirjo yang menyuruh para pengikutnya terus berjuang mendirikan Negara Islam Indonesia (NII) karena “Amerika di belakang kita”. Dalam kesempatan lain lagi, Bung Karno mengutuk nekolim dan CIA. Ia bahkan berseru di hadapan para diplomat asing di Jakarta, “Ambasador jangan subvesi!”.

Atas tragedi G-30-S/PKI itu sendiri, Bung Karno terus disudutkan sebagai pihak yang patut diduga terlibat. Meski di kemudian hari kita baru menyadari… bagaimana mungkin seorang presiden mengkudeta dirinya sendiri? Itu jika kita menggunakan analogi bahwa gerakan itu dimaksudkan untuk mengganti kepemimpinan Nasional.

Dalam salah satu pidato yang ia ucapkan di Bogor, Bung Karno menyebutkan bahwa berdasar visum dokter, tidak ada kemaluan jenderal korban G-30-S itu yang dipotong dalam pembantaian di Lubang Buaya. Demikian pula, tidak ada mata yang dicungkil seperti ditulis pers dengan sangat dramatis. Dalam pidato berikutnya tangal 13 Desember 1965 di hadapan para gubernur se-Indonesia, Bung Karno bahkan menuturkan, pisau yang disebut-sebut digunakan mencongkel mata para jenderal tak lain adalah sebilah pisau penyadap lateks, getah pohon karet. Tapi oleh kelompok Soeharto disebut sebagai barang bukti yang digunakan mencungkil mata para jenderal. Tidak ada bekas darah kecuali getah karet di pisau itu.

Semua pidato Bung Karno yang bermaksud meng-counter tudingan, sangkaan, dugaan serta segala bentuk pencemaran nama baik, tak mempan. Kekuatan Angkatan Darat didukung Amerika Serikat begitu merajalela. Di sisi lain, Bung Karno yang sudah mendapatkan ikrar setia dari segenap elemen masyarakat, bergeming tidak mau bertindak menumpas. Ia tidak ingin terjadi perang saudara di bumi yang dengan susah payah ia lepaskan dari jerat penjajahan.


Sumber : Roso Daras (Dengan perubahan seperlunya)


Ini penyebab Sukarno dilengserkan Soeharto versi Megawati

 
Surat perintah sebelas Maret (Supersemar) yang menandai akhir kekuasaan Sukarno kepada soeharto hingga kini masih menjadi tanda tanya. Benarkah Bung Karno memerintahkan agar kekuasaannya saat itu diserahkan kepada Soeharto.

Menurut putri Bung Karno, Megawati Soekarnoputri, ayahandanya dilengserkan oleh Soeharto. Ketum PDIP ini pun mempertanyakan mengapa belum adanya tim khusus yang menginvestigasi penyebab Bung Karno dilengserkan soeharto. Dalam kesempatan itu, Megawati mengungkapkan penyebab soeharto menjatuhkan Bung Karno.

"Saya heran kenapa tidak ada yang melakukan penelitian kenapa ayah saya dijatuhkan. Itu karena kepentingan asing ingin masuk dan tidak bisa masuk. Pada waktu itu tak ada jalan lain selain Bung Karno harus dilengserkan," ujar Megawati di Hotel Mercure, Ancol, Jakarta Utara, Selasa (27/5).

Usai Bung Karno lengser, lanjut Megawati, pihak asing pun dengan leluasa masuk dengan kepentingannya. Megawati menyayangkan sikap soeharto yang menerima pihak asing tanpa memikirkan akibatnya.

"Salah satunya mengapa keadaan negeri jadi begini ketika pak Harto buka pintu bagi pihak asing ke Indonesia tidak dengan dipikirkan yang mana boleh masuk, yang mana yang tidak boleh masuk," jelas Megawati.


Sumber : Merdeka (Dengan perubahan seperlunya)


Kisah Sukarno soal peci miring dan pohon beringin

Bung Karno

Anda sudah tentu pernah melihat foto Presiden Sukarno dengan peci miring. Apa alasan Sukarno memakai peci miring ? Jawaban itu dapat ditemukan di 'Ndalem Pojok' di Desa Pojok, Kecamatan Wates, Kabupaten Kediri. Alasan memakai topi miring itu ternyata untuk menutupi luka akibat jatuh dari pohon beringin.

"Rahasia mengapa Sukarno selalu memakai peci miring karena untuk menutupi luka di jidatnya akibat terjatuh ketika bermain di pohon beringin yang ada di depan rumahnya," kata RM Soeharyono keponakan RM Soemosewoyo yang juga bapak angkat Sukarno.

Namun sayang, pohon beringin yang menjadi saksi jatuhnya Sukarno itu telah ambruk sekitar tahun 1970-an karena diterjang angin. "Keluarga kita sempat mendapat intimidasi dari militer atas ambruknya pohon beringin ini, kita dikira tidak pro Orde Baru," tandas Soeharyono.

Sukarno yang mempunyai banyak teman, sering mengajak teman-temannya main ke 'Ndalem Pojok' Wates, antara lain dr Soetomo, R Sosrokartono (kakak kandung RA Kartini) dan HOS Tjokroaminoto dan juga Muso, tokoh PKI asal Jagung, Kecamatan Pagu, Kabupaten Kediri.

"HOS Tjokroaminoto melatih Sukarno berorasi ya di sini di bawah pohon beringin yang mengakibatkan luka pada jidatnya. Jadi gaya orasi Sukarno itu atas didikan Pak Tjokro yang juga mertuanya ketika kos di Peneleh Gang II/27 Surabaya," tambah Soeharyono.

Lokasi pohon beringin tempat di mana Sukarno berlatih orasi sekarang menjadi tiang bendera, di mana di setiap kegiatan hari besar nasional selalu diadakan upacara di 'Ndalem Pojok'.

Selain cerita tentang pohon beringin, juga ada pohon yang menjadi saksi perjalanan cinta ayah Sukarno, R.Soekemi, yakni pohon kantil raksasa. Pohon yang ditanam sekitar tahun 1850 oleh RMP. Soemohadmodjo itu pernah dimanfaatkan sang ayah untuk memantapkan hatinya meminang sang pujaan hati Ida Nyoman Rai Srimben dari Bali.

"Tanaman mbah buyut saya masih ada sampai sekarang, dan kalau dipikir-pikir ini adalah tanaman pohon kantil terbesar yang pernah ada," pungkas R. Koeshartono cucu keponakan RM Soemosewoyo yang juga ayah angkat Sukarno.

Sumber : Merdeka (Dengan perubahan seperlunya)


Cerita di Balik Foto Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang Terkenal ini

Presiden Sukarno membacakan Naskah Proklamasi
Foto karya Frans Mendur yang mengabadikan Presiden Sukarno membacakan Naskah Proklamasi di Jalan Pegangsaan Timur, Nomor 56, Cikini, Jakarta.


Siapa yang tidak kenal dengan foto Proklamasi Kemerdekaan Indonesia ini? Presiden Sukarno membacakan Naskah Proklamasi di Jalan Pegangsaan Timur. Wakil Presiden Mohammad Hatta berdiri di sisi kiri. Banyak yang kenal foto ini, tapi barangkali tak banyak yang tahu kisahnya. Tahukah Anda kisah heroik di balik foto ini? Berikut kisahnya....
-----------------------------------------------------------------------------

Suatu pagi di bulan puasa, 17 Agustus 1945. Frans Sumarto Mendur mendengar kabar dari sumber di harian Asia Raya bahwa ada peristiwa penting di kediaman Sukarno. Alexius Impurung Mendur, abangnya yang menjabat kepala bagian fotografi kantor berita Jepang Domei, mendengar kabar serupa. Kedua Mendur bersaudara ini lantas membawa kamera mereka dan mengambil rute terpisah menuju kediaman Sukarno.

Kendati Jepang telah mengaku kalah pada sekutu beberapa hari sebelumnya, kabar tersebut belum diketahui luas di Indonesia. Radio masih disegel Jepang dan bendera Hinomaru masih berkibar di mana-mana. Patroli tentara Jepang masih berkeliaran dan bersenjata lengkap.

Dengan mengendap-endap, Mendur bersaudara berhasil merapat ke rumah Sukarno di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56, Cikini, Jakarta, tatkala jam masih menunjukkan pukul 05.00 pagi.

 
Pukul 08.00, Sukarno masih tidur di kediamannya lantaran gejala malaria. Sukarno juga masih lelah sepulang begadang merumuskan Naskah Proklamasi di rumah Laksamana Maeda, Jalan Imam Bonjol Nomor 1. Dibangunkan dokternya untuk minum obat, Sukarno lantas tidur lagi dan bangun pukul 09.00.

Di Jakarta, pukul 10.00 pada hari Jumat pagi itu Sukarno dan Mohammad Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Upacara Proklamasi kemerdekaan berlangsung sederhana, tanpa protokol. Hanya Mendur bersaudara yang hadir sebagai fotografer pengabadi peristiwa bersejarah Indonesia tersebut.

Frans berhasil mengabadikan tiga foto, dari tiga frame film yang tersisa. Foto pertama, Sukarno membaca teks Proklamasi. Foto kedua, pengibaran bendera Merah Putih oleh Latief Hendraningrat, anggota PETA (Pembela Tanah Air). Foto ketiga, suasana upacara dan para pemuda yang menyaksikan pengibaran bendera.


Foto karya Frans Mendur yang mengabadikan detik-detik proklamasi Indonesia di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56, Cikini, Jakarta, 17 Agustus 1945. Kiri, pengibaran bendera Merah Putih oleh Latief Hendraningrat, anggota PETA (Pembela Tanah Air). Kanan, suasana upacara dan para pemuda yang menyaksikan pengibaran bendera.


Diburu tentara Jepang

Usai upacara, Mendur bersaudara bergegas meninggalkan kediaman Sukarno. Tentara Jepang memburu mereka. Alex Mendur tertangkap, tentara Jepang menyita foto-foto yang baru saja dibuat dan memusnahkannya.
 
Adiknya, Frans Mendur, berhasil meloloskan diri. Negatif foto dikubur di tanah dekat sebuah pohon di halaman belakang kantor harian Asia Raya. Tentara Jepang mendatanginya, tapi Frans mengaku negatif foto sudah diambil Barisan Pelopor.
 
Meski negatif foto selamat, perjuangan mencuci dan mencetak foto itu pun tak mudah. Mendur bersaudara harus diam-diam menyelinap di malam hari, memanjat pohon dan melompati pagar di samping kantor Domei, yang sekarang kantor Antara.

Negatif foto lolos dan dicetak di sebuah lab foto. Resiko bagi Mendur bersaudara jika tertangkap tentara Jepang adalah penjara, bahkan hukuman mati. Tanpa foto karya Frans Mendur, maka Proklamasi Indonesia tak akan terdokumentasikan dalam bentuk foto.

 
Proklamasi kemerdekaan Indonesia hanya diberitakan singkat di harian Asia Raya, 18 Agustus 1945. Tanpa foto karena telah disensor Jepang.
 
Setelah Proklamasi kemerdekaan, pada bulan September 1945, fotografer-fotografer muda Indonesia bekas fotografer Domei di Jakarta dan Surabaya mendirikan biro foto di kantor berita Antara.

Tanggal 1 Oktober 1945, BM Diah dan wartawan-wartawan eks harian Asia Raya merebut percetakan De Unie dan mendirikan Harian Merdeka. Alex Mendur pun pindah ke Harian Merdeka. Foto bersejarah Proklamasi kemerdekaan Indonesia karya Frans Mendur tersebut baru bisa dipublikasikan pertama kali pada 20 Februari 1946 di halaman muka Harian Merdeka.

 
Setahun setelah kepindahan ke Harian Merdeka, kakak-beradik Frans dan Alex Mendur menggagas pendirian Indonesia Press Photo Service, disingkat IPPHOS. Turut mendirikan biro foto pertama Indonesia tersebut, kakak-beradik Justus dan Frank “Nyong” Umbas, Alex Mamusung, dan Oscar Ganda. IPPHOS berkantor di Jalan Hayam Wuruk Nomor 30, Jakarta, sejak berdiri 2 Oktober 1946 hingga 30 tahun kemudian.


IPHHOS

Koleksi foto IPPHOS pada kurun waktu 1945-1949 konon berjumlah 22.700 bingkai foto. Namun, hanya 1 persen yang terpublikasikan. Foto-foto IPPHOS tak hanya dokumentasi pejabat-pejabat negara, tetapi juga rekaman otentik kehidupan masyarakat pada masa itu.
 
Keluarga Mendur adalah putra daerah Kawangkoan, Minahasa, Sulawesi Utara. Alex Mendur lahir pada 1907, sementara adiknya Frans Mendur lahir tahun 1913. Frans belajar fotografi kepada Alex yang sudah lebih dahulu menjadi wartawan Java Bode, koran berbahasa Belanda di Jakarta. Frans lantas mengikuti jejak abangnya menjadi wartawan pada tahun 1935.
 
Foto monumental lain karya Alex Mendur adalah foto pidato Bung Tomo yang berapi-api di Mojokerto tahun 1945, tetapi sering dianggap terjadi di hotel Oranje, Surabaya. Foto monumental lain karya Frans Mendur adalah foto soeharto yang menjemput Panglima Besar Jendral Soedirman pulang dari perang gerilya di Jogja, 10 Juli 1949.
 
Kala itu nama Mendur bersaudara sudah terkenal di mana-mana. Keberadaan mereka diperhitungkan media-media asing. Namun, Mendur bersaudara dan IPPHOS tetap idealis untuk loyal kepada Indonesia. Padahal, secara etnis Minahasa, sebenarnya Mendur bersaudara bisa saja dengan mudah merapat ke Belanda. IPPHOS tetap independen, di kala kesempatan bagi Mendur bersaudara terbuka luas untuk meraup lebih banyak uang dengan bekerja untuk media asing.


Meninggal dalam sepi

Semasa hidupnya, Frans Mendur pernah menjadi penjual rokok di Surabaya. Di RS Sumber Waras Jakarta pada tanggal 24 April 1971, Fotografer Pengabadi Proklamasi Kemerdekaan RI ini meninggal dalam sepi.

Alex Mendur tutup usia pada tahun 1984 juga dalam keadaan serupa. Hingga tutup usia, kakak-beradik Frans dan Alex Mendur tercatat belum pernah menerima penghargaan atas sumbangsih mereka pada negara ini. Konon, mereka berdua pun ditolak untuk dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.

Baru pada 9 November 2009 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menganugerahi kedua fotografer bersejarah Indonesia ini, Alexius Impurung Mendur dan Frans Soemarto Mendur, penghargaan Bintang Jasa Utama.


Jolly Rompas, pengelola Tugu Pers Mendur, berdiri di depan patung Alex Impurung Mendur (kiri) dan Frans Soemarto Mendur di Kelurahan Talikuran, Kecamatan Kawangkoan, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara, Rabu (22/1/2014). Tugu Pers Mendur didirikan untuk mengenang jasa kakak beradik tersebut yang mengabadikan detik-detik Proklamasi Kemerdekaan Indonesia lewat kamera mereka. Keduanya adalah putra asli Minahasa.


Tugu Pers Mendur

Untuk mengenang aksi heroik Mendur bersaudara, keluarga besar Mendur mendirikan sebuah monumen yang disebut "Tugu Pers Mendur". Tugu ini berupa patung Alex dan Frans serta bangunan rumah adat Minahasa berbentuk panggung berbahan kayu.

Tugu Pers Mendur didirikan di Kelurahan Talikuran, Kecamatan Kawangkoan Utara, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara, di tanah kelahiran mereka. Di dalam rumah itu terdapat 113 foto karya Mendur bersaudara.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meresmikan tugu ini pada 11 Februari 2013.




Sumber : Kompas (Dengan perubahan seperlunya)


My Definite Chief Aim

My Definite Chief Aim

Ini adalah sebuah surat tulisan tangan Bruce Lee untuk memotivasi dirinya sendiri

Bruce Lee

When he wrote the following mission statement in January of 1969, Bruce Lee was 28 years of age and a minor TV star in the United States, having featured in a number of shows which included, most notably, the ill-fated Green Hornet series. With his second child recently born and no financial security to speak of, the clearly determined founder of Jeet Kune Do decided to put his "definite chief aim" down on paper. 

The rest is history. 

Transcript follows. 

(Source: Bruce Lee aficionado, Jake Fillon; Image of Bruce Lee via.)
 
My Definite Chief Aim

Transcript 

SECRET

My Definite Chief Aim

I, Bruce Lee, will be the first highest paid Oriental super star in the United States. In return I will give the most exciting performances and render the best of quality in the capacity of an actor. Starting 1970 I will achieve world fame and from then onward till the end of 1980 I will have in my possession $10,000,000. I will live the way I please and achieve inner harmony and happiness.

Bruce Lee
Jan. 1969
Sumber : Letters of Note (Dengan perubahan seperlunya)