Negarawan Berani dan Jujur Nyaris Hilang

Sukarno, Bung Karno, Pak Karno

Negarawan yang berani dan jujur semakin langka, bahkan cenderung hilang di Indonesia. Tindakan seperti generasi Soekarno-Hatta hingga Maulwi Saelan yang berani meninggalkan kenyamanan hidup untuk memperjuangkan dan mencapai tujuan bernegara semakin sulit ditemukan.

Demikian disampaikan sejarawan Universitas Indonesia, Anhar Gonggong dalam peluncuran buku Maulwi Saelan: Penjaga Terakhir Soekarno di Museum Nasional, Jakarta, Rabu (1/10/014).

"Maulwi Saelan bagian dari generasi yang bertindak melampaui dirinya, kelompok, dan golongan. Tindakan yang dilakukan generasi Soekarno-Hatta hingga Maulwi Saelan ini adalah teladan yang kini nyaris hilang. Kini, yang muncul adalah orang-orang yang berbuat demi kepentingan dirinya, bahkan menggarong atau korupsi," kata Anhar Gonggong.

Anhar Gonggong menerangkan, Sukarno, Hatta, dan para tokoh generasi 1945 mau meninggalkan zona nyaman menjadi birokrat atau elite masyarakat Hindia-Belanda demi mencapai sebuah negara baru, yakni Republik Indonesia. Jika hanya memikirkan diri sendiri, kehidupan mereka sudah nyaman dan mapan. 

Pembicara lain, Bonnie Triyana, Pemimpin Redaksi Majalah Historia yang juga penulis buku terbitan Penerbit Buku Kompas (PBK) tersebut mengatakan, teladan Sukarno sebagai pemimpin yang tidak terikat protokoler merupakan sisi-sisi manusiawi seorang pemimpin kerakyatan yang dilahirkan Revolusi 1945. 

"Sukarno berani minta maaf kepada bawahannya jika berbuat salah. Sukarno juga tidak bermewah-mewah,” tutur Bonnie. 

Benda-benda seni yang dikumpulkan Sukarno juga tidak dikuasai demi kekayaan pribadi. Semua diberikan ke perbendaharaan Istana Negara. 

Dari testimoni Maulwi Saelan, tutur Bonnie, diungkapkan sanggahan tegas Maulwi Saelan yang sepanjang hari hingga malam tanggal 30 September 1965 mendampingi Bung Karno. "Tidak benar Bung Karno mengetahui dan membenarkan tindakan G30S," ujar Bonnie.

Para hadirin peluncuran buku itu juga mengkritisi perlakuan terhadap negarawan. Haryono Ahmad, mantan Tentara Pelajar di Solo, menceritakan, dia bersama para pejabat masa awal Orde Baru miris menyaksikan penanganan jenazah Bung Karno yang dinilainya tidak pantas. ”Ada senior saya di Kementerian Transmigrasi, Brigjen Busiri, tidak jadi memotret iring-iringan jenazah Bung Karno. Pak Busiri menangis melihat kereta jenazah Bung Karno yang kondisinya sangat jelek. Bukan itu cara memperlakukan mantan Presiden Indonesia,” katanya.

Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Asvi Warman Adam yang turut menulis buku Maulwi Saelan mengatakan, tidak benar tudingan bahwa Tjakrabirawa, pasukan pengawal Presiden Sukarno, merencanakan penculikan jenderal-jenderal TNI AD tahun 1965. ”Tjakrabirawa justru pro-aktif meminta keterangan Sukitman, anggota polisi yang dilepaskan dari Lubang Buaya, sehingga tempat pembuangan jenazah Pahlawan Revolusi ditemukan,” ujar Asvi.

Maulwi Saelan menambahkan cerita tentang penembakan Arif Rahman Hakim. Penembak mahasiswa Universitas Indonesia hingga meninggal sewaktu berlangsungnya demonstrasi mahasiswa pada 24 Februari 1966 itu, menurut dia, diduga dilakukan anggota Polisi Militer TNI AD, tetapi dituduhkan kepada Tjakrabirawa.


Sumber : Kompas (Dengan perubahan seperlunya) 


Fungsi Pokok Pancasila

Garuda Pancasila

Penjelasan Fungsi Pokok Pancasila :
  1. Pancasila sebagai Dasar Negara (Staatsfundamentalnorm).
    Pancasila sebagai Dasar Negara Republik Indonesia, biasa disebut juga sebagai Dasar Filsafat Negara (Philosophie Groundslaag). Ini mengandung arti bahwa Pancasila menjadi dasar dalam mengatur Pemerintahan Negara sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, merupakan sumber tertib hukum yang dibuat dan berlaku dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara Indonesia tidak boleh bertentangan dengan nilai - nilai Pancasila.

  2. Pancasila sebagai Pandangan Hidup (Way of life, Weltanschaung).
    Pancasila sebagai Pandangan Hidup, menunjukan fungsi bahwa Pancasila merupakan pegangan hidup, pedoman hidup dan penunjuk arah bagi semua kegiatan bangsa Indonesia dalam berbagai aspek kehidupannya. Ini berarti bahwa setiap sikap dan perilaku manusia Indonesia harus dijiwai dan merupakan pancaran pengalaman sila - sila Pancasila.

  3. Pancasila sebagai Kepribadian Bangsa Indonesia.
    Pancasila sebagai Kepribadian Bangsa Indonesia, berarti bahwa Pancasila adalah gambaran tertulis dari pola perilaku atau gambaran tentang pola amal perbuatan bangsa Indonesia yang bersifat khas dan membedakannya dengan bangsa - bangsa lain.

  4. Pancasila sebagai Perjanjian Luhur Bangsa Indonesia.
    Pancasila sebagai Perjanjian Luhur Seluruh Bangsa Indonesia, berarti bahwa Pancasila merupakan hasil kesepakatan bersama atau konsensus seluruh Rakyat Indonesia yang harus kita pertahankan selama - lamanya. Karena perjanjian luhur itu sendiri sudah disepakati oleh bangsa Indonesia melalui keputusan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 18 Agustus 1945, yang menetapkan Pancasila sebagai Dasar Negara Republik Indonesia.

  5. Pancasila sebagai cita - cita dan tujuan bangsa Indonesia.
    Pancasila sebagai Dasar Negara yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, merefleksikan cita - cita dan tujuan yang ingin dicapai dalam kehidupan Bangsa Indonesia. Cita - cita dan tujuan ini selanjutnya dijabarkan menjadi Tujuan Nasional (Tunas), sebagaimana diamanatkan dalam alinea IV Pembukaan UUD 1945, antara lain :
    • Melindungi segenap Bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia.
    • Memajukan kesejahteraan umum.
    • Mencerdaskan kehidupan Bangsa.
    • Ikut serta melaksanakan ketertiban Dunia yang berdasarkan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
      
Tags : Fungsi Pokok Pancasila, Fungsi Pokok dari Pancasila, Fungsi Pokok Pancasila adalah, Jelaskan Fungsi Pokok Pancasila, Fungsi Pokok Pancasila?.


Ini penyebab Sukarno dilengserkan Soeharto versi Megawati

 
Surat perintah sebelas Maret (Supersemar) yang menandai akhir kekuasaan Sukarno kepada soeharto hingga kini masih menjadi tanda tanya. Benarkah Bung Karno memerintahkan agar kekuasaannya saat itu diserahkan kepada Soeharto.

Menurut putri Bung Karno, Megawati Soekarnoputri, ayahandanya dilengserkan oleh Soeharto. Ketum PDIP ini pun mempertanyakan mengapa belum adanya tim khusus yang menginvestigasi penyebab Bung Karno dilengserkan soeharto. Dalam kesempatan itu, Megawati mengungkapkan penyebab soeharto menjatuhkan Bung Karno.

"Saya heran kenapa tidak ada yang melakukan penelitian kenapa ayah saya dijatuhkan. Itu karena kepentingan asing ingin masuk dan tidak bisa masuk. Pada waktu itu tak ada jalan lain selain Bung Karno harus dilengserkan," ujar Megawati di Hotel Mercure, Ancol, Jakarta Utara, Selasa (27/5).

Usai Bung Karno lengser, lanjut Megawati, pihak asing pun dengan leluasa masuk dengan kepentingannya. Megawati menyayangkan sikap soeharto yang menerima pihak asing tanpa memikirkan akibatnya.

"Salah satunya mengapa keadaan negeri jadi begini ketika pak Harto buka pintu bagi pihak asing ke Indonesia tidak dengan dipikirkan yang mana boleh masuk, yang mana yang tidak boleh masuk," jelas Megawati.


Sumber : Merdeka (Dengan perubahan seperlunya)


Kisah Sukarno soal peci miring dan pohon beringin

Bung Karno

Anda sudah tentu pernah melihat foto Presiden Sukarno dengan peci miring. Apa alasan Sukarno memakai peci miring ? Jawaban itu dapat ditemukan di 'Ndalem Pojok' di Desa Pojok, Kecamatan Wates, Kabupaten Kediri. Alasan memakai topi miring itu ternyata untuk menutupi luka akibat jatuh dari pohon beringin.

"Rahasia mengapa Sukarno selalu memakai peci miring karena untuk menutupi luka di jidatnya akibat terjatuh ketika bermain di pohon beringin yang ada di depan rumahnya," kata RM Soeharyono keponakan RM Soemosewoyo yang juga bapak angkat Sukarno.

Namun sayang, pohon beringin yang menjadi saksi jatuhnya Sukarno itu telah ambruk sekitar tahun 1970-an karena diterjang angin. "Keluarga kita sempat mendapat intimidasi dari militer atas ambruknya pohon beringin ini, kita dikira tidak pro Orde Baru," tandas Soeharyono.

Sukarno yang mempunyai banyak teman, sering mengajak teman-temannya main ke 'Ndalem Pojok' Wates, antara lain dr Soetomo, R Sosrokartono (kakak kandung RA Kartini) dan HOS Tjokroaminoto dan juga Muso, tokoh PKI asal Jagung, Kecamatan Pagu, Kabupaten Kediri.

"HOS Tjokroaminoto melatih Sukarno berorasi ya di sini di bawah pohon beringin yang mengakibatkan luka pada jidatnya. Jadi gaya orasi Sukarno itu atas didikan Pak Tjokro yang juga mertuanya ketika kos di Peneleh Gang II/27 Surabaya," tambah Soeharyono.

Lokasi pohon beringin tempat di mana Sukarno berlatih orasi sekarang menjadi tiang bendera, di mana di setiap kegiatan hari besar nasional selalu diadakan upacara di 'Ndalem Pojok'.

Selain cerita tentang pohon beringin, juga ada pohon yang menjadi saksi perjalanan cinta ayah Sukarno, R.Soekemi, yakni pohon kantil raksasa. Pohon yang ditanam sekitar tahun 1850 oleh RMP. Soemohadmodjo itu pernah dimanfaatkan sang ayah untuk memantapkan hatinya meminang sang pujaan hati Ida Nyoman Rai Srimben dari Bali.

"Tanaman mbah buyut saya masih ada sampai sekarang, dan kalau dipikir-pikir ini adalah tanaman pohon kantil terbesar yang pernah ada," pungkas R. Koeshartono cucu keponakan RM Soemosewoyo yang juga ayah angkat Sukarno.

Sumber : Merdeka (Dengan perubahan seperlunya)


Revolusi Mental

3 Konsep Trisakti Bung Karno
Dalam melaksanakan Revolusi mental, kita dapat menggunakan konsep Trisakti yang pernah diutarakan oleh Bung Karno dalam pidatonya pada tahun 1963 dengan 3 pilarnya.

Penggunaan istilah ”Revolusi” dalam Revolusi Mental tidaklah berlebihan. Sebab, Indonesia memerlukan suatu terobosan budaya politik untuk memberantas setuntas-tuntasnya segala praktik-praktik yang buruk yang sudah terlalu lama dibiarkan tumbuh kembang sejak zaman Orde Baru sampai sekarang. Revolusi Mental beda dengan revolusi fisik karena ia tidak memerlukan pertumpahan darah. Namun, usaha ini tetap memerlukan dukungan moril dan spiritual serta komitmen dalam diri seorang pemimpin—dan selayaknya setiap revolusi—diperlukan pengorbanan oleh masyarakat.


Cerita di Balik Foto Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang Terkenal ini

Presiden Sukarno membacakan Naskah Proklamasi
Foto karya Frans Mendur yang mengabadikan Presiden Sukarno membacakan Naskah Proklamasi di Jalan Pegangsaan Timur, Nomor 56, Cikini, Jakarta.


Siapa yang tidak kenal dengan foto Proklamasi Kemerdekaan Indonesia ini? Presiden Sukarno membacakan Naskah Proklamasi di Jalan Pegangsaan Timur. Wakil Presiden Mohammad Hatta berdiri di sisi kiri. Banyak yang kenal foto ini, tapi barangkali tak banyak yang tahu kisahnya. Tahukah Anda kisah heroik di balik foto ini? Berikut kisahnya....
-----------------------------------------------------------------------------

Suatu pagi di bulan puasa, 17 Agustus 1945. Frans Sumarto Mendur mendengar kabar dari sumber di harian Asia Raya bahwa ada peristiwa penting di kediaman Sukarno. Alexius Impurung Mendur, abangnya yang menjabat kepala bagian fotografi kantor berita Jepang Domei, mendengar kabar serupa. Kedua Mendur bersaudara ini lantas membawa kamera mereka dan mengambil rute terpisah menuju kediaman Sukarno.

Kendati Jepang telah mengaku kalah pada sekutu beberapa hari sebelumnya, kabar tersebut belum diketahui luas di Indonesia. Radio masih disegel Jepang dan bendera Hinomaru masih berkibar di mana-mana. Patroli tentara Jepang masih berkeliaran dan bersenjata lengkap.

Dengan mengendap-endap, Mendur bersaudara berhasil merapat ke rumah Sukarno di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56, Cikini, Jakarta, tatkala jam masih menunjukkan pukul 05.00 pagi.

 
Pukul 08.00, Sukarno masih tidur di kediamannya lantaran gejala malaria. Sukarno juga masih lelah sepulang begadang merumuskan Naskah Proklamasi di rumah Laksamana Maeda, Jalan Imam Bonjol Nomor 1. Dibangunkan dokternya untuk minum obat, Sukarno lantas tidur lagi dan bangun pukul 09.00.

Di Jakarta, pukul 10.00 pada hari Jumat pagi itu Sukarno dan Mohammad Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Upacara Proklamasi kemerdekaan berlangsung sederhana, tanpa protokol. Hanya Mendur bersaudara yang hadir sebagai fotografer pengabadi peristiwa bersejarah Indonesia tersebut.

Frans berhasil mengabadikan tiga foto, dari tiga frame film yang tersisa. Foto pertama, Sukarno membaca teks Proklamasi. Foto kedua, pengibaran bendera Merah Putih oleh Latief Hendraningrat, anggota PETA (Pembela Tanah Air). Foto ketiga, suasana upacara dan para pemuda yang menyaksikan pengibaran bendera.


Foto karya Frans Mendur yang mengabadikan detik-detik proklamasi Indonesia di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56, Cikini, Jakarta, 17 Agustus 1945. Kiri, pengibaran bendera Merah Putih oleh Latief Hendraningrat, anggota PETA (Pembela Tanah Air). Kanan, suasana upacara dan para pemuda yang menyaksikan pengibaran bendera.


Diburu tentara Jepang

Usai upacara, Mendur bersaudara bergegas meninggalkan kediaman Sukarno. Tentara Jepang memburu mereka. Alex Mendur tertangkap, tentara Jepang menyita foto-foto yang baru saja dibuat dan memusnahkannya.
 
Adiknya, Frans Mendur, berhasil meloloskan diri. Negatif foto dikubur di tanah dekat sebuah pohon di halaman belakang kantor harian Asia Raya. Tentara Jepang mendatanginya, tapi Frans mengaku negatif foto sudah diambil Barisan Pelopor.
 
Meski negatif foto selamat, perjuangan mencuci dan mencetak foto itu pun tak mudah. Mendur bersaudara harus diam-diam menyelinap di malam hari, memanjat pohon dan melompati pagar di samping kantor Domei, yang sekarang kantor Antara.

Negatif foto lolos dan dicetak di sebuah lab foto. Resiko bagi Mendur bersaudara jika tertangkap tentara Jepang adalah penjara, bahkan hukuman mati. Tanpa foto karya Frans Mendur, maka Proklamasi Indonesia tak akan terdokumentasikan dalam bentuk foto.

 
Proklamasi kemerdekaan Indonesia hanya diberitakan singkat di harian Asia Raya, 18 Agustus 1945. Tanpa foto karena telah disensor Jepang.
 
Setelah Proklamasi kemerdekaan, pada bulan September 1945, fotografer-fotografer muda Indonesia bekas fotografer Domei di Jakarta dan Surabaya mendirikan biro foto di kantor berita Antara.

Tanggal 1 Oktober 1945, BM Diah dan wartawan-wartawan eks harian Asia Raya merebut percetakan De Unie dan mendirikan Harian Merdeka. Alex Mendur pun pindah ke Harian Merdeka. Foto bersejarah Proklamasi kemerdekaan Indonesia karya Frans Mendur tersebut baru bisa dipublikasikan pertama kali pada 20 Februari 1946 di halaman muka Harian Merdeka.

 
Setahun setelah kepindahan ke Harian Merdeka, kakak-beradik Frans dan Alex Mendur menggagas pendirian Indonesia Press Photo Service, disingkat IPPHOS. Turut mendirikan biro foto pertama Indonesia tersebut, kakak-beradik Justus dan Frank “Nyong” Umbas, Alex Mamusung, dan Oscar Ganda. IPPHOS berkantor di Jalan Hayam Wuruk Nomor 30, Jakarta, sejak berdiri 2 Oktober 1946 hingga 30 tahun kemudian.


IPHHOS

Koleksi foto IPPHOS pada kurun waktu 1945-1949 konon berjumlah 22.700 bingkai foto. Namun, hanya 1 persen yang terpublikasikan. Foto-foto IPPHOS tak hanya dokumentasi pejabat-pejabat negara, tetapi juga rekaman otentik kehidupan masyarakat pada masa itu.
 
Keluarga Mendur adalah putra daerah Kawangkoan, Minahasa, Sulawesi Utara. Alex Mendur lahir pada 1907, sementara adiknya Frans Mendur lahir tahun 1913. Frans belajar fotografi kepada Alex yang sudah lebih dahulu menjadi wartawan Java Bode, koran berbahasa Belanda di Jakarta. Frans lantas mengikuti jejak abangnya menjadi wartawan pada tahun 1935.
 
Foto monumental lain karya Alex Mendur adalah foto pidato Bung Tomo yang berapi-api di Mojokerto tahun 1945, tetapi sering dianggap terjadi di hotel Oranje, Surabaya. Foto monumental lain karya Frans Mendur adalah foto soeharto yang menjemput Panglima Besar Jendral Soedirman pulang dari perang gerilya di Jogja, 10 Juli 1949.
 
Kala itu nama Mendur bersaudara sudah terkenal di mana-mana. Keberadaan mereka diperhitungkan media-media asing. Namun, Mendur bersaudara dan IPPHOS tetap idealis untuk loyal kepada Indonesia. Padahal, secara etnis Minahasa, sebenarnya Mendur bersaudara bisa saja dengan mudah merapat ke Belanda. IPPHOS tetap independen, di kala kesempatan bagi Mendur bersaudara terbuka luas untuk meraup lebih banyak uang dengan bekerja untuk media asing.


Meninggal dalam sepi

Semasa hidupnya, Frans Mendur pernah menjadi penjual rokok di Surabaya. Di RS Sumber Waras Jakarta pada tanggal 24 April 1971, Fotografer Pengabadi Proklamasi Kemerdekaan RI ini meninggal dalam sepi.

Alex Mendur tutup usia pada tahun 1984 juga dalam keadaan serupa. Hingga tutup usia, kakak-beradik Frans dan Alex Mendur tercatat belum pernah menerima penghargaan atas sumbangsih mereka pada negara ini. Konon, mereka berdua pun ditolak untuk dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.

Baru pada 9 November 2009 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menganugerahi kedua fotografer bersejarah Indonesia ini, Alexius Impurung Mendur dan Frans Soemarto Mendur, penghargaan Bintang Jasa Utama.


Jolly Rompas, pengelola Tugu Pers Mendur, berdiri di depan patung Alex Impurung Mendur (kiri) dan Frans Soemarto Mendur di Kelurahan Talikuran, Kecamatan Kawangkoan, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara, Rabu (22/1/2014). Tugu Pers Mendur didirikan untuk mengenang jasa kakak beradik tersebut yang mengabadikan detik-detik Proklamasi Kemerdekaan Indonesia lewat kamera mereka. Keduanya adalah putra asli Minahasa.


Tugu Pers Mendur

Untuk mengenang aksi heroik Mendur bersaudara, keluarga besar Mendur mendirikan sebuah monumen yang disebut "Tugu Pers Mendur". Tugu ini berupa patung Alex dan Frans serta bangunan rumah adat Minahasa berbentuk panggung berbahan kayu.

Tugu Pers Mendur didirikan di Kelurahan Talikuran, Kecamatan Kawangkoan Utara, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara, di tanah kelahiran mereka. Di dalam rumah itu terdapat 113 foto karya Mendur bersaudara.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meresmikan tugu ini pada 11 Februari 2013.




Sumber : Kompas (Dengan perubahan seperlunya)


Bunga Gugur

Banyak orang yang gugur dalam memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia, tanpa dikenal namanya, tanpa diketahui keluarga dan sanak saudaranya. Hanya ada nisan dengan tanda silang dan tulisan TAK DIKENAL di makam yang berderet panjang, sunyi tanpa banyak orang yang mengunjungi, seperti bunga gugur tanpa suara.

Jiwa-jiwa mereka pasti sudah tenang dengan kemerdekaan Indonesia yang menjadi ganjaran perjuangannya. Tinggal kita yang masih hidup, berjuang untuk mengisinya, dan meneruskan cita-cita mulia para Pahlawan untuk menuju Indonesia Damai, Makmur, dan Sejahtera yang berpedoman dalam isi makna dari Pancasila.